Transportasi Online vs Konvensional

Sejak kehadirannya, transportasi berbasis aplikasi atau online menuai pro kontra. Transportasi konvensional mempersoalkan keberadaan transportasi online seperti Gojek, Grabbike, Grab Car, atau Uber karena dinilai telah melanggar sejumlah peraturan seperti UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Menyikapi kondisi ini, pemerintah belum mengeluarkan kebijakan yang tegas dan final.

Belakangan, kehadiran moda transportasi berbasis aplikasi menjadi polemik lantaran tidak ada payung hukum yang spesifik mengatur tentang bisnis ini. Tak adanya regulasi yang mengatur usaha ini, jelas bisa menimbulkan persoalan hukum tersendiri baik bagi perusahaan, pengemudi, bahkan konsumen. Lihat saja di kawasan Kalibata City, Jakarta Selatan. Warga yang bermata pencaharian sebagai tukang ojek konvensional merasa terancam dengan kehadiran pengemudi Go-Jek. Bahkan, mereka membuat papan pemberitahuan yang seakan mengintimidasi pengemudi Go-Jek untuk tidak memasuki area Kalibata City. Mereka merasa kehadiran Go-Jek telah memangkas pandapatan mereka. Di kawasan Warung Buncit, Jakarta Selatan, beda lagi. Seorang perempuan yang menjadi pengemudi Go-Jek dipukul oleh pengemudi ojek yang biasa mangkal di daerah itu. Pengemudi ojek konvensional itu merasa pengemudi Go-Jek telah merebut calon penumpangnya.

Terlepas dari persoalan-persoalan hukum yang dihadapi perusahaan transportasi berbasis aplikasi beserta pengemudinya, sejauh ini masyarakat terlihat cukup antusias menerima keberadaan mereka. Setidaknya, kemajuan teknologi bisa dimanfaatkan untuk memenuhi keinginan masyarakat yang mengidamkan transportasi murah, cepat, dan praktis. Namun bagaimanapun juga, semua memerlukan aturan agar lebih tertib dan tidak menimbulkan kecemburuan bisnis.

Dosen Fakultas Teknik Universitas Indonesia ini menjelaskan pertimbangan ojek tidak masuk dalam kategori angkutan umum karena kendaraan roda dua (motor) memiliki potensi bahaya yang cukup tinggi. Ellen menyebutkan 70 sampai 80 persen kecelakaan di jalan terjadi pada motor.

Padahal, lanjutnya, saat masuk kategori angkutan umum maka pemerintah memiliki kewajiban untuk melakukan pembinaan kepada angkutan umum, dan juga ada asuransi-asuransi yang harus ditanggung dalam kecelakaan yang terjadi pada angkutan umum.

“Itulah kira-kira penyebabnya kenapa tidak termasuk angkutan umum berbayar ya. Kalau memang ojek ini maunya sebagai angkutan pribadi tidak apa-apa, karena pemerintah tidak memberikan pembinaan,” ujar Ellen.

Namun jika melihat fakta yang terjadi di lapangan saat ini, pengaturan tersebut memang diperlukan. Mengapa? Karena dalam kenyataannya pertumbuhan ojek ini semakin banyak dan tidak terkendali.

Lebih dari sekadar melindungi tukang ojek pangkalan, menurut Ellen, aturan juga diperlukan untuk melindungi angkutan umum lain yang dibebankan kewajiban membayar pajak. Fenomena ojek online initak hanya melemahkan ojek pangkalan, ucap Ellen. Angkutan umum lainnya seperti angkot dan taksi pun semakin sepi bahkan tak berpenumpang.

“Dengan alasan lebih murah dan mungkin juga lebih nyaman dari angkot, masyarakat beralih ke ojek sebagai solusi transportasi yang dirasa cukup untuknya,” kata Ellen.

“Ojek ini memang satu solusi transportasi ya bagi masyarakat. Nah sementara pemerintah bisa menyiapkan sarana transportasi yang memadai, ojek-ojek ini dapat dijadikan sebagai transportasi bridging, transportasi antara. Ya sambil kita menunggu transportasi yang memadai tersebut,” pungkas Ellen.

 

sumber: http://www.hukumonline.com/

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

YouTube
Instagram